Tuesday, November 13, 2012

Studi Kasus Fiqh Muamalah (Riba)

By
Kasus
Sebagai pemilik ruko, Pak Rahmad mempersilahkan Pak Burhan untuk memanfaatkan ruko tersebut tanpa dipungut biaya sewa. Di tengah periode, Pak Rahmad meminta Pak Burhan untuk membayar sewa ruko tersebut sebesar 20% dari keuntungan bisnisnya. Buatlah analisis fiqih, apakah transaksi ini dikategorikan riba?

Analisis
Dengan melihat fakta tersebut, mari kita tengok terlebih dahulu tentang hukum perjanjian (akad) dalam islam. Perjanjian dalam transaksi jual-beli (bai’), sewa-menyewa (ijarah), bagi hasil (mudharabah), penitipan barang (wadi’ah), perseroan (syirkah), pinjam meminjam (ariyah), pemberian (hibah), penangguhan utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja, gadai atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya.

Rukun Perjanjian
Secara umum, rukun perjanjian dalam hukum Islam adalah adanya shigat aqad itu sendiri, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada kehendak kedua belah pihak.

Adapun syarat-syarat shigat akad ini adalah:
  1. Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.  
  2. Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
  3. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh.
Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya).

Syarat Perjanjian
Suatu akad atau perjanjian dapat dikatakan telah terjadi jika telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditentukan. Rukun-rukun akad sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah adanya ijab dan qabul (shighat). Sementara syarat-syaratnya, ada yang menyangkut subyek perjanjian (‘aqidain), obyek perjanjian (ma’qud alaih) dan tempat akad (mahallul ‘aqad).

Adapun syarat-syarat terjadinya akad dapat dibedakan menjadi dua (2) macam:
  1. Pertama, syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu yang wajib sempurna wujudnya dalam setiap perjanjian.  
  2. Kedua, syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, dan tidak pada sebagian lainnya (tambahan), seperti adanya dalam akad nikah dan sebaginya.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dan melihat kasus yang terjadi sangat jelas bahwa Pak Rahmad jelas melakukan penyimpangan akad, akad yang sebelumnya adalah pinjam meminjam kemudian menjadi sewa menyewa ditengah periode jelas bathil. Pak Burhan tidak perlu memberikan keuntungannya karena dalam perjanjian awal adalah peminjaman tanpa ada syarat apapun.

Perjanjian tersebut bias dibatalkan dikarenakan, apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang disepakati dalam perjanjian, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian tersebut. Hal ini didasarkan dalam Al-Qur’an:
“Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 7)
Dalam Hukum Islam suatu perjanjian atau akad merupkan sesuatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan ketika para pihak yang terkait. Baik, hubungannya dengan shigat yang akan dilakukan, isi perjanjian yang akan disepakati, ataupun segala sesuatu yang terkait dengan perjanjian yang akan dibuat.

Dalam hal ini para pihak sudah seharusnya menaati ketentuan ketentuan yang berlaku sesuai dengan hukum perjanjian dalam agama Islam, agar perjanjian yang dibuat dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dan tidak akan menimbulkan masalah atau sengketa yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Facebook Twitter Google+

Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment