Tuesday, January 24, 2017

Peranan Kredit pada Bidang Pertanian

By
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara agraris. Kita ketahui pula bahwa mayoritas masyarakat di perdesaan bermatapencaharian sebagai petani. Rata-rata petani di perdesaan dalam kondisi ekonomi lemah, keterampilan kurang, tingkat pendidikan rendah, serta modal yang sangat terbatas. Berbagai keterbatasan tersebut mengakibatkan kecilnya usaha pertanian di perdesaan.

Oleh sebab itu, apabila terjadi perubahan sedikit saja pada produksi pertanian, akan membawa dampak pada kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat perdesaan. Satu contoh misal para petani mengalami gagal panen yang diakibatkan serangan hama wereng. Para petani tersebut tentu akan mencoba mencari alternatif sumber pendapatan lain untuk mengatasi kesulitannya tersebut, salah satunya berasal dari lembaga-lembaga perkreditan yang ada di perdesaan.

Lembaga perkreditan yang beroperasi di tingkat perdesaan sudah ada sejak jaman dahulu, meskipun bentuknya senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Seorang ahli mengatakan bahwa lembaga perkreditan ini berperan bukan saja sebagai lambang ikatan antara golongan yang punya dan tidak, tetapi ada kalanya merupakan satu bentuk tenggang rasa yang dimanifestasikan dalam bentuk barang (in natura)

Pengaruh dari adanya pembangunan di sektor pertanian mulai Nampak pada daerah-daerah di mana tempat proses peralihan dari usaha pertanian subsisten ke usaha pertanian komersial terjadi. Secara teoretis, pada masa peralihan ini, kebutuhan akan dana kredit semakin diperlukan oleh masyarakat, sehingga keberadaan lembaga perkreditan yang semula bersifat lambang ikatan dan tenggang rasa, lama kelamaan akan berubah menjadi hubungan ekonomi yang kadang-kadang masih terselubung.

Pada jaman pemerintah Kolonial Belanda, masalah perkreditan di daerah perdesaan (terutama di pulau Jawa) sudah menjadi pusat perhatian pemerintah. Hal ini terbukti dengan didirikannya Lembaga Perkreditan Rakyat (LDR) pada tahun 1990-an, sebagai akibat dari adanya kegelisahan yang semakin tumbuh pada para pejabat pamong praja tentang kondisi ekonomi penduduk.

Setelah era kemerdekaan, keberadaan lembaga-lembaga perkreditan, baik resmi maupun tidak resmi semakin berkembang. Kredit Bimas dan lembaga Koperta yang kemudian menjadi BUUD atau KUD merupakan contoh lembaga-lembaga perkreditan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Kemudian dalam tahun 1970-an, muncullah program KIK, KMKP, KCK, serta beberapa bentuk program perkreditan lainnya yang dijalankan oleh pemerintah dengan tujuan memberikan bantuan modal kepada pengusaha kecil agar lebih bergairah dalam meningkatkan kegiatan usahanya.

Disamping itu semua, bentuk perkreditan ini diharapkan dapat dinikmati secara merata oleh semua lapisan masyarakat, terutama bagi golongan petani kecil dan ekonomi lemah, sehingga dapat mengurangi ketergantungan mereka terhadap lembaga-lembaga perkreditan informal (misalnya rentenir, tukang kredit barang, petani kaya, dan lain-lain) dengan bunga yang relatif tinggi.

Sumber Referensi:
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan: Edisi Ke-5. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN.
Facebook Twitter Google+

Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment